Sang Guru (3)

SANG GURU (3)

by Bu Wiwik on Monday, August 8, 2011 at 12:09am
 
 

Aku belum sempat tabayyun tentang info kontroversial yang telah kusiapkan sejak awal, tetapi aku sudah menemukan fakta lapangan yang setidaknya bisa membantu memberiku jawaban. Bagaimana orang bisa mengatakan dia tidak sholat sedang aku menyaksikan dia mendirikan masjid dengan dasar spirit yang Islami?…..Memang aku belum pernah melihat dia sholat di masjid, tetapi cukupkah hal itu menjadi alasan untuk menyebutnya tidak sholat? Bisa saja dia sholat di dalam kamar atau di tempat pribadi yang orang lain ttidak tahu…..Soal majik, bagaimana aku bisa bertanya kalau aku sendiri sudah keliling setiap ruangan dan tidak menemukan sesuatu pun yang mencurigakan. Sampai ke dapur, ke kamar mandi baik kamar mandi santri maupun kamar mandi sang guru. Di mana letak majiknya ya?…..  Bahkan ketika Keraton Kasunanan Surakarta mengalami musibah dengan meninggalnya Sinuwun Pakubuwono XII lalu terjadi perebutan posisi pengganti Sinuwun, keris-keris pusaka keraton dititipkan kepada Sang Guru dan disimpan dalam  2 buah kardus besar. Melihat kumpulan keris yang teronggok di sudut ruang tengah aku sempat bertanya, ” Ini apa Guru?”….. Dia jawab, “Itu kan gara-gara Bapaknya meninggal terus anak-anaknya bertengkar berebut kedudukan, untuk sementara mereka titipkan di sini. Kerisnya anteng di sini, padahal katanya dia bisa jalan kemana-mana”…..  Beberapa saat aku terhenyak, hatiku bertanya, pertama: dia itu orang yang seperti apa ya, kok keris keraton saja dititipkan di sini?….. kedua, pandangannya yang realistis terhadap keris membuatku berpikir balik, bagaimana dia bisa dikatakan menggunakan kekuatan majik?……

Pemikiran yang rasional dan realistis juga aku temukan pada peristiwa lain.

Saat itu di kantorku (sebuah instansi tingkat kabupaten) mengalami kehilangan uang yang disimpan di brankas. Uang itu adalah uang yayasan kesejahteraan pegawai. Kejadiannya sampai 3 kali dan jumlah nominalnya hingga 60 juta rupiah. Tentu saja kejadian  ini menimbulkan suasana heboh di kantor. Ada yang usul lapor polisi. Yang lain melarang dengan alasan persoalannya bisa tambah panjang, banyak urusan dan bisa-bisa malah membuka aib sendiri.Aku mengusulkan untuk konsultasi saja kepada sang guru, juga ditolak. Mereka meragukan kemampuan sang guru. Akhirnya ditempuhlah jalan alternatif, konsultasi kepada seorang kyai yang dikenal pendai mencari barang hilang.

Ada tim yang dikirim kepada kyai yang tinggal di wilayah Salatiga. Aku, walaupun bukan anggota tim boleh ikut ke sana. Aku hanya ingin tahu bagaimana cara kerjanya. Sesampai di sana kami dipersilakan masuk ke sebuah ruangan ukuran 2×3 meter persegi. Di sudut ruangan sudah tersedia lampu minyak (teplok), telur ayam jawa dan minyak kelapa asli. Beberapa menit kyai melakukan ritual tertentu sedang kami bertiga “mengheningkankan cipta”. Selesai ritual beliau menyerahkan telur ayam jawa yang sudah diolesi minyak kelapa kepada kami. Lalu kami disuruh melihat foto siapa yang ada di dalam telur itu, dialah pencurinya.

Mungkin tidak akan menjadi persoalan jika yang hadir dan melihat foto itu hanya seorang diri. Dan karena kami datang bertiga maka ada 3 penafsiran. Kami berbeda pendapat. Yang satu mengatakan itu foto si A. Kebetulan  si A sudah lama tidak datang ke kantor dan konon pergi ke Kalimantan jualan batik. “Modalnya dari mana, coba”….. Yang satu lagi bilang itu foto si B. Si B adalah pegawai swasta, suami dari pegawai perempuan di kantor kami. “Dia kan baru .saja kena PHK?” Dan yang ketiga mengatakan itu foto si C. Si C adalah pegawai senior yang hampir pensiun, punya 2 istri dan 11 anak.

“barangkali dia bingung bagaimana menghidupi keluarganya kalau sudah pensiun…..”  Dalam hal ini kyai tadi tidak bisa ikut berpendapat. Sepenuhnya diserahkan kepada kami. Dan hasilnya, 0 besar. Kami tidak mencapai kesepakatan.

Setelah gagal usaha itu, diam-diam tim bekerja mencari kyai yang lain. Aku tidak diajak karena memang aku bukan anggota Tim. Aku baru tahu setelah diumumkan bahwa hari Jum’at jam 9 pagi semua pegawai kumpul di musolla untuk mengikuti ritual pencarian uang hilang. Ternyata kyainya dari Sragen saja dan aku mengenal namanya. Cara yang dipergunakan adalah dengan minum air putih yang sudah didoakan oleh kyai.

Aku tidak sabar melihat cara kerja Tim yang serba irrasional. Aku menghadap sang guru dan hanya bercerita tentang situasi kantor akhir-akhir ini. Dia tertawa sambil menyentil eksistensi kami sebagai pegawai negeri dengan kompetensi pemikiran yang tinggi dan muslim pula tetapi masih  mau menggunakan  cara yang tidak nalar. ” jangan mau minum bu wiwik…… katakan, aku tidak mencuri tapi aku nggak mau minum…….”…. Seharusnya lapor polisi saja, biar mereka yang menyelidiki. Sekalian bisa jadi  pelajaran untuk semua pegawai…… ” Nomor hapenya pak kyai berapa?’ tanya sang guru padaku. Setelah kembali ke kantor aku menemukan nomor itu lalu kukirim kepada sang guru.

Pada hari H jam 8 pagi berangkatlah Tim itu menjemput pak kyai. Saat mereka datang pak kyai sedang solat dzuha. Lalu mereka menunggu di ruang tamu. Tidak lama kemudian dengan tergopoh-gopoh pak kyai menemui Tim sambil menunjukkan hapenya dan berkata, ” ini dia….. pencurinya sudah ngaku….”. Dengan mata terbelalak karena terkejut anggota Tim menyambut pak kyai lalu mencoba ikut membaca isi sms di hape pak kyai. Dibacanya dengan cermat isi sms itu lalu seorang anggota Tim angkat bicara…..” pak kyai, ini bukan pengakuan …..coba kita baca bersama…”

Sms itu berbunyi ” jare arep omben-omben neng kantor…. iki lho aku duwe banyu bening…. ombenen…” (katanya mau minum-minum di kantor….. ini aku punya air jernih, silakan minum…)…..

Untuk kedua kalinya pencarian pencuri dengan cara alternatif itu gagal. Selanjutnya aku tidak pernah tahu bagaimana kehilangan uang itu diselesaikan.

Sebenarnya sejak pertama aku mengadakan Semaan Qur’an, aku sudah mendapatkan pelajaran yang berbeda dari sang guru dibanding para kyai lain yang pernah kutemukan.

Ceritanya, ketika selesai semaan Qur’an yang pertama kali kuselenggarakan di sebuah madrasah di Kecamatan Sumberlawang (20km dari kota Sragen)  aku mengantarnya kembali ke pondok. Sesampai di pondok aku menyerahkan sejumlah amplop (tentu saaja berisi uang) sebagai ucapan terimakasih. Isi amplop sudah aku bedakan antara istri sang guru dan pengikutnya yang jumlahnya sekitar 10 orang. Istri sang guru agak malu-malu menerima pemberianku sedang para santri menerimanya dengan wajah datar…… Setelah itu aku berpamitan  pulang.

Di luar dugaan, sang guru sudah menungguku du pintu gerbang. Dengan bahasa Jawa campuran kromo dan ngoko dia minta padaku supaya lain waktu jangan memberi uang.Cukup diantar- jemput saja. Sudah menjadi tugasnya untuk mengamalkan kemampuannya menghafal Al Qur’an. Ilmunya harus bermanfaat, bukan memanfaatkan ilmu…… Dan sebaris kalimat yang tak pernah kulupakan hingga sekarang adalah ” jangan ajari istri dan santriku untuk menjadi burung gagak pemakan bangkai”…….. Duhh…….