Sang Guru (2)

SANG GURU (2)

by Bu Wiwik on Friday, August 5, 2011 at 12:42pm
 
 

Setelah kegiatan semaan keliling itu berjalan, intensitasku datang ke pondok dan pertemuanku dengan sang guru semakin tinggi. Aku merasa beruntung  karena keinginanku untuk tabayyun dengan sang guru akan terlaksana . Banyak hal yang ingin aku konfirmasikan dengannya karena banyak rumor dan issu yang menggelitik hatiku. Aku merasa tidak adil jika  info itu kuterima  begitu saja tanpa membuktikannya lebih dahulu.  Banyak orang bilang “dia itu nggak sholat, nggak bisa ngaji , menggunakan kekuatan majik. berlaku  musyrik, buta huruf,  seneng mengumpat dan berkata kasar, tidak pernah pakai alas kaki, tidak pernah mengenakan baju koko dan jubah sebagaimana pimpinan pondok atau kyai yang lain.

Mulailah aku memanfaatkan kedekatanku dengan istrinya yang hafal AQ. Dia, wanita 21 tahun berwajah bulat dan cantik dengan kulit putih yang selalu tersenyum ketika menjawab pertanyaanku. Ketika kutanya, bagaimana dia bisa diperisteri oleh sang guru, dengan tersipu dia menjawab “begitulah takdir”.  Ia anak kedua dari 7 bersaudara dari keluarga tani biasa. Sejak kecil ia ngaji hafalan Qur’an di sebuah pondok pesantren di Kabupaten Demak. Orangtuanya tidak pernah mengajarinya bekerja. Bahkan untuk belanja ke pasar pun ia tidak bisa melakukannya. Tugasnya hanya menghafal AQ. Ketika sudah khatam dan hafal 30 juz, pimpinan pondok memintanya membantu mengajar  hafalan Qur’an untuk santri yuniornya. Ia jalani tugas itu dengan baik. Waktu terus berjalan dan ia sempat dilamar beberapa pria yang ingin menikahinya. Ada guru agama, ada  pegawai kantor, ada juga beberapa kyai muda.  Belum satu pun  yang berkenan di hati. Hingga suatu hari ia dipanggil oleh pimpinan pondok dan dipertemukan dengan sang guru. Setelah berlangsung pembicaraan beberapa saat, ia menerima pinangan itu. Tidak lama kemudian orangtuanya dipanggil ke pondok dan berlangsunglah pernikahan siri. Setelah itu sang guru pulang ke sragen. 2 hari kemudian. sang guru bersama istri pertama dan 3 orang wanita pendamping menjemput  gadis itu untuk diboyong ke pondok pesantren di sragen.

Seolah tahu apa yang aku inginkan, dia mengajakku keliling bangunan pondok. Formasi bangunan ini terpusat pada masjid yang berada di dalam kompleks. Baru di sekelilingnya berdiri membujur dari utara ke selatan, dari timur ke barat yang kesemuanya menyatu dan hanya dipisahkan oleh pintu gerbang tanpa daun pintu. Tampaknya sang guru tidak suka pada bentuk-bentuk rekayasa modernitas. Semua bangunan menggunakan bahan alami baik dinding, lantai maupun atapnya. Lantai terbuat dari semen namun tebal dan halus. Dindingnya entah berapa bata hingga kelihatan tebal dan kokoh. Atap dan dempel pintu/ jendela terbuat dari kayu jati asli yang dia tebang langsung dari hutan. Dia pillih sendiri mana pohon yang sudah siap ditebang, lalu direndam di kolam besar selama 2 bulan. Maka kalau kita perhatikan kayu- kayu jati yang terpakai pada bangunan pondok ini kita akan berkesimpulan bahwa sang guru lebih mengutamakan kesempurnaan dan  kekuatan bukan keindahan yang direkayasa. Gambaran ini terlihat terutama jika kita berada di dalam masjid. Dari bawah akan kita lihat genteng berkualitas prima  yang bertengger di atas barisan kayu jati yang teksturnya padat tak bercacat. Sebagaimana pintu gerbang tak berdaun pintu, demikian juga pintu dan jendela masjid. Tak ada daun pintu atau daun jendela yang melekat di sana. Kesannya seperti bangunan yang belum jadi, tetapi begitulah adanya. Bagi sang guru,   masjid bukanlah tempat yang harus dibuka-tutup. Masjid harus selalu terbuka kapan saja dan untuk siapa saja. Konsep pembangunan masjid ini juga didasarkan pada perhitungan tertentu yang mengacu pada nilai-nilai Islami. Bangunan masjid ini luasnya 20 x 25 meter persegi. 20 dari bilangan sifat Allah sedangkan 25 dari bilangan jumlah Rasul Allah. Ada 9 kran tempat wudlu di sebelah utara masjid yang menggambarkan Wali Sembilan. Sedangkan di sebelah selatan masjid ada 17 kran untuk wudlu wanita. Angka ini adalah jumlah rokaat sholat wajib sehari semalam.

Setelah selesai  keliling lokasi pondok aku bertanya di ruang mana sang guru tidur. Lalu dia  menunjuk 2 kamar besar tempat sang guru beristirahat bersama  istri pertama dan 5 orang putra putrinya. Bergeser 50 meter ke arah utara, di situlah dia mengajakku masuk. “Inilah kamar saya bersama beliau”, katanya. Ukuran 4 x 5 meter persegi dengan kualitas bangunan seperti yang lainnya. Ada rasa perih yang menggigit hatiku. Dalam kamar itu tidak ada lemari atau tempat tidur apalagi meja rias seperti kebanyakan wanita.  Di lantai terhampar selembar tikar dari mendong (batang padi) sekitar 2×3 meter yang di atasnya ada sebuah bantal. Di sebelah tikar ada sebidang kasur dari kapuk yang tidak terlalu tebal. “Beliau tidur di tikar dan saya di kasur ini”….. Lalu kardus-kardus yang bertumpuk itu apa? tanyaku. “Itu tempat menyimpan baju-baju kami.”

Hatiku teraduk-aduk dan mulutku tersekat. Aku tidak mampu lagi menyusun kalimat untuk mengajukan pertanyaan apapun………..