Al Qosmu

” Katakanlah, Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidup dan matiku (hanyalah) untuk Allah, Rabb semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya. Itulah yang diperintahkan padaku dan aku adalah orang yang mula-mula Muslim” (Al An’aam: 162-163)

   Makna kata syahaadah yang lain adalah al qosmu (sumpah). Ini berarti dengan melafazhkan syahadatain kita bersumpah di hadapan manusia, sementara hati kita hadapkan kepada Allah SWT, untuk dalam hidup menjadikan Allah saja sebagai ilah, dan Rasulullah SAW sebagai qudwah (contoh) dalam cara beribadah kepada Allah.

   Bukan hanya dengan lisan tapi juga hadir hati. Dengan segenap kesungguhan, seorang Muslim memulai hidupnya secara syari’ dengan mengucapkan kalimat sumpah ini.  Maka sejak itu dia berubah, dari kondisi tidak beriman menjadi beriman, dia masuk madholul ilal Islam (pintu gerbang Islam) dan memegang miftahul jannah (kunci syurga) untuk segera menapakinya hasta demi hasta, jengkal demi jengkal, serta siap menerima taklif (pembebanan).  Sejak itu dia tidak lagi menjadi makhluk yang bebas.  Dia tidak bebas lagi untuk menuruti kehendak taghut (setan), dia tidak bebas lagi untuk mengikuti gelapnya dunia jahiliyyah, dia tidak bebas lagi untuk menjadi manusia bodoh dan tertindas.  Tetapi dia terikat.  Dia terikat pada nurrun ala nurrin (cahaya di atas cahaya), terikat pada kebenaran, terikat pada fitrah, terikat pada cinta kasih, ukhuwah, terikat pada aturan Allah dan uswah dari Rasul-Nya. Dan dia menjadi mukallaf yang berserah diri (Muslim) untuk mengikuti aturan Islam yang ditapakinya.

   Setelah melalui pintu gerbang Islam, maka kita secara hakikat adalah makhluk yang terikat sumpah.  Terikat pada sumpah yang kita ikrarkan secara sadar, dan dengan segenap konsekuensi yang ada dibelakangnya.  Pada periode makkah kaum quraish menilai syahadatain ini sebagai sesuatu yang dibenci para raja, sesuatu yang akan berhadapan secara langsung dengan keangkuhan dan kejahiliyahan, sesuatu yang syarat dengan ujian.  Artinya dengan syahaadah kita siap menghadapi ujian itu.  Bila tidak maka, sumpah yang ada hanyalah main-main saja dan bukan sumpah manusia dewasa yang waras.

   Kalau al i’laan menuntut keberanian dan rasa bangga untuk menunjukan sikap sebagai seorang Muslim, maka al qosmu menuntut kesiapan mental terhadap konsekuensi yang akan muncul, kesiapan menerima taklif (pembebanan) dan getirnya jalan da’wah.

   Sebagai bukti kesiapan itu dengan lantang dan berulang dalam shallat kita bersumpah:

    Inna shalaatii wa nusukii, wa mahyaya, wa mamaati lillaahi Rabbil ‘aalamiin

   “Sesungguhnya shallatku, ibadahku, hidupku, dan matiku, akan kuper-sembahkan kepada Rabb semesta alam”

Hidup dan mati, kita katakan akan kita serahkan untuk perjuangan agama Allah, untuk menegakkan aturan Allah, untuk menuruti perintah Allah. Dengan entengnya semua itu kita ucapkan, apakah benar hidup dan mati akan kita serahkan untuk perjuangan di jalan Allah dan bukan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, suku, atau bangsa?
Semua ini perlu bukti dan Allah adalah saksi yang paling adil.
Maka buktikanlah!

   Dalam sudut pandang al qosmu, seorang manusia dapat dikategorikan secara langsung sebagai mu’min atau munafiq ittiqodi, munafik tulen, bukan sekedar munafiq amali.  Munafiq ittiqodi ini dengan lantangnya menyatakan keimanan demi status sosial, demi fasilitas (ghanimah), demi perlindungan, namun manakala mereka kembali kepada setan-setan mereka (pemimpin-pemimpin munafiq ini secara langsung dikatakan sebagai setan-setan oleh Allah) mereka melecehkan kaum yang beriman, dan mereka menyatakan kekafiran mereka.

   “Dan apabila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan, “kami telah beriman”. Dan apabila mereka kembali kepada setan-setan mereka, mereka mengatakan, “sesungguhnya kami bersama kamu, kami hanyalah orang yang mengolok-olok”    (Al Baqarah:14)

Mereka menyerang Islam atas nama Islam, menyebarkan fikrah atas nama fikrah islami, sementara hakekatnya adalah adu-domba, olok-olok, pelemahan ghirah, pendangkalan aqidah, dan peragu-raguan. Mereka tidak membujuk agar ummat Islam percaya bahwa Isa AS itu adalah anak Allah. Karena mustahil diterima oleh akal sehat, dan aqidah ummat.  Mereka juga tidak memaksa ummat untuk percaya bahwa Uzair adalah anak Allah, karena ummat merasa aneh kalau Allah bisa beranak dan diberanakkan. Tapi kalau pendangkalan aqidah, peragu-raguan, pelemahan ghirah?

   Hakekat dari munafiq ittiqodi adalah kafir.

   Karenanya al qosmu bukan saja mesti merembesi dimensi social tapi juga ruhiyyah seorang Muslim.  Dan dia mestilah mengambil bentuk kekuatan itiqod (tekad), azzam (kemauan), ghirah, dan akhlaq lalu berjalan dalam aliran bukti-bukti keimanan.  Dan seorang Muslim sama sekali bukanlah pendusta besar, yang bersumpah namun nihil dalam perbuatan apalagi menghianati sumpah.

   “Hai orang-orang yang beriman, kenapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kemurkaan Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat”    (Ash Shaff:2-3)

Seorang Muslim siap dengan sumpah dan menerima dengan ikhlash amanah syahaadatain ini, sampai Allah memenangkan dien ini atau dia hancur di dalam jalan itu.  Inilah orang-orang yang benar sumpahnya, yang benar syahaadahnya, karenanya berhaq syahid memperoleh syahaadah. Semoga kita termasuk salah seorang diantaranya, insya Allah.

“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu(cobaan)sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan,  serta digoncangkan (dengan bermacam-macam  cobaan)  sehingga  berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: ” Bilakah datangnya pertolongan Allah ? “Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.”
(Al Baqarah: 214)

   Al qosmu dan memegang teguh sumpah yang haq balasannya adalah surga, jannah yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, yang di dalamnya segala keni’matan dipersembahkan Allah untuk makhluk-Nya yang taat, yang di dalamnya kesejahteraan tak terbatas dilimpahkan Rabb Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada hambanya yang tawadlu’. Inilah tempat sebaik-baiknya untuk kembali.

   Namun, jalan menegakkan sumpah yang haq bukan lah jalan mulus dan mudah; bukan pula jalan yang penuh sanjungan, tawa dan kegembiraan, bahkan memegang teguh syahadatain berarti secara langsung mengangkat permusuhan dengan al bathil. Menjadi jundullah maka berarti siap bentrok dengan hizbultaghut. Menjadi ansharullah (penolong agama Allah) berarti berhadapan secara diametral dengan anshartaghut (pasukan taghut).  Ini sunatullah, natur.

   Maka, jalan bersama dengan sumpah, jalan yang lurus, jalan orang-orang yang diberi ni’mat, jalan para Nabi, Shiiddiqiin, syuhada dan shalihiin, jalan ketaqwaan adalah jalan yang sukar lagi mendaki, jalan yang penuh celaan dari orang-orang yang suka mencela, jalan penuh hasutan dari orang-orang yang suka menghasut, jalan yang penuh hinaan dari orang-orang yang suka menghina, jalan penuh caci-maki, teror, interogasi dan intimidasi. Inilah jalan yang membentang penuh tantangan dimana diujungnya adalah jannah.

   Jalan ini sekaligus cobaan atas keimanan seorang hamba, keteguhan dalam menggenggam sumpah.  Karena surga mahal harganya. Surga tidak diperoleh secara mudah dengan hanya menjalankan ibadah mahdoh (khusus) lalu mengabaikan totalitas ibadah.  Surga diperoleh hanya untuk orang-orang yang diridhainya, orang-orang yang telah teruji keimanannya, teruji cintanya kepada Allah dan RasulNya, orang-orang yang berjuang di jalanNya, dan bukan untuk kaum munafiq yang cukup beruncang-uncang kaki di tengah perjuangan kaum Muslimin, yang bergembira sangat di tengah keterhinaan kaum Muslimin, atau mereka yang malah senang dengan kekalahan orang-orang yang beriman.

   “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu ? “

Jangan bermimpi tentang surga, sebelum lengan baju tersingsing untuk membela kaum Muslimin, sebelum keringat jatuh bercucuran di jalan da’wah, sebelum wala (loyalitas) diberikan hanya untuk Allah, RasulNya dan orang-orang beriman.  Surga Allah demikian mahal harganya.

   Syahaadatain inilah kunci surga Allah, kunci yang dimiliki seorang Muslim yang memegang teguh sumpahnya lalu istiqomah di jalanNya.

Hasbunallah wani’mal wakil