Sang Guru (10)

SANG GURU ( 10 )

by Bu Wiwik on Thursday, September 22, 2011 at 2:47am
 
 

Orang yang datang kepada sang guru berasal dari berbagai daerah, berbagai etnik, berbagai agama,  berbagai strata sosial dan membawa berbagai masalah. Dan ketika sang guru menyampaikan sebuah petuah, wejangan atau pengajian, maka penafsiran para audien pun beragam sesuai basis kehidupan mereka. Tetapi di sisi lain, semua orang yang datang, masing-masing merasa dihormati dan disayangi oleh sang guru. Maka tidak heran bila mereka jadi “ge-er” alias gegeden rumangsan atau dalam bahasa Indonesia terlalu “pe-de” untuk menjadi yang “paling” di antara sesama santri.

Seperti yang terjadi beberapa waktu lalu, aku dan suami diminta hadir di masjid Lemahbang jam 3 pagi utk kemudian sholat subuh berjamaah di sana dan setelah itu ke Tuban melihat lahan  calon lokasi  masjid yang akan dibangun di sana.

Dengan penuh percaya diri dan merasa penting, kami berdua datang ke masjid itu. Tidak lama kemudian datang sebuah mobil dengan 3 penumpang. Ternyata mereka juga mau ke Tuban. Demikian juga tamu berikutnya dan berikutnya lagi hingga terkumpul sekitar 40 orang. Kami saling bertanya dan bercerita bahwa kedatangan kami sepagi ini atas perintah sang guru. Kemudian kami semua tertawa, mentertawakan diri sendiri karena ternyata kita punya “posisi” yang sama dan sama-sama ge-er…..

Tetapi jangan salah sangka, bahwa jika sang guru menerima kedatangan semua orang tanpa pandang agama dan status lalu diartikan sebagai  membenarkan semua agama. Tidak. Terhadap perbedaan agama beliau lebih sering mengajarkan “lakum diinukum waliyadiin” .   “Bagimu agamamu, bagiku agamaku.” . Atau ” laa ikrooha fid diin”, tidak ada paksaan dalam meyakini agama.Tetapi pada sisi lain beliau juga mengajarkan “inna diina ‘inda Allah ‘l Islam”… Agama yang ada di sisi Allah adalah Islam. Islam adalah rohmat untuk semesta alam dan karena itu harus bisa merengkuh, mengayomi dan mendamaikan  agama lainnya. Bukan memusuhi mereka. Mereka harus tunduk kepada nilai-nilai Islam yang  kita ejawantahkan pada kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, kita membuat orang tertarik pada Islam karena kebaikannya. Kita harus bisa menjadi contoh bagaimana menjadi muslim yang benar. Dalam hal ini sang guru sudah memberi banyak contoh kepada para santri. Sang Guru menjalani kehidupannya sesuai nilai-nilai Islam baik kehidupan pribadi maupun kehidupan sosial. Sambil berseloroh beliau sering berucap, ” aku sudah ittiba Nabi….. Nabi petani, aku juga petani…. Nabi pengusaha, aku juga pengusaha…..yang belum, Nabi jadi pejabat tapi aku masih jadi rakyat biasa…..”

Lebih jauh   sang guru mengajarkan, “inti  agama itu adalah taat dan taubat kepada Tuhan”. Menjalankan agama artinya menjalankan  ketaatan dan pertaubatan kepada Tuhan. Dua kata itu harus beriringan karena taat saja tanpa taubat bisa menumbuhkan kesombongan religius karena  orang lupa pada kesalahan atau kekhilafannya sendiri. Sebaliknya kalau hanya taubat saja tanpa mentaati perintahnya sama dengan bohong.  Tuhan hanya satu dan agama mestinya juga hanya satu. Kalau kenyataannya agama menjadi banyak, itu kan karena penafsiran manusia menurut akal dan penghayatannya sendiri. Mestinya Al Qur’an juga jangan ditafsir-tafsirkan. Kita menafsirkan ucapan orang lain saja belum tentu benar, kenapa harus menafsirkan “ucapan Tuhan?”.

Akibat dari penafsiran itu maka timbul kelompok-kelompok yang masing-masing merasa paling benar. Lalu mereka saling berdebat, saling menjatuhkan bahkan pada akhirnya saling membunuh. Agama bukan lagi sebagai “pendamai” antar manusia, bukan lagi petunjuk ke arah penghambaan kepada Tuhan  malah menjadi pencetus kekerasan antar manusia dengan mengatasnamakan Tuhan.

Ilmu itu ada 4 tingkatan, begitu kata sang guru  di hari-hari pertama  aku masuk pondok. Saat itu aku sama sekali tidak memahami maksudnya. Kalimatnya singkat seperti ini, ” paling rendah, ilmu tumbuh-tumbuhan, di atasnya ilmu kitab, ilmunya kyai, terus ilmu ukur – ilmunya para wali dan nabi dan yang paling tinggi, ilmu alam, ilmunya Tuhan”….  tanpa penjelasan lebih detil dan aku tidak berani bertanya atau lebih tepatnya ” tidak bisa” bertanya.

Pada kesempatan yang lain, beliau mengulang pelajaran itu dengan sedikit penjelasan. Ilmu tumbuh-tumbuhan itu wujud lakunya adalah binatang. Ilmu kitab natap-natap (mentok),  ilmunya kyai dan para alim ulama, kalau kitabnya dicuri orang dia tidak bisa mengajar. Ilmu ukur, ilmunya para wali dan nabi, mereka selalu tepat mengukur mana yang haq dan mana yang batil. Ilmu alam, ilmunya Tuhan, ilmu yang sangat luas dan berlaku untuk seluruh jagad raya.

Seiring dengan berjalannya waktu dan semakin seringnya  aku mendengar keterangan itu di beberapa kesempatan, aku mulai mencoba memahaminya. Tentu saja pemahaman menurut versiku. Aku tidak tahu apakah orang lain akan sepaham denganku.

Tingkatan pertama, ilmu tumbuh-tumbuhan dengan perilaku hidup seperti binatang. Tumbuh-tumbuhan adalah unsur alam yang diawali dengan biji  yang tertanam lalu dengan proses alam dia tumbuh sedikit demi sedikit, pada waktunya dia berbunga, dan pada saat berikutnya dia akan  berbuah. Setelah itu dia menjadi tua,  layu, kering dan mati.  Manusia yang hanya sampai pada ilmu tumbuh-tumbuhan dia akan berlaku seperti binatang lalu melahirkan sifat ego yang besar, nafsi- nafsi alias ” loe-loe, gue-gue”..Manusia itu ” hayawanun natiq” – binatang berakal.

Jika pemahamanku ini aku kembangkan lagi, maka akan aku temukan kualitas hidup manusia yang seperti ini, ” lahir, dewasa, kerja, kawin, punya anak, punya harta, selesai…..” tidak ada sentuhan nilai yang lebih tinggi dari itu. Sama dengan ayam atau kambing yang setiap pagi pergi cari makan, kalau sudah kenyang pulang, tidur, dan begitu seterusnya. Aku sering mendengar sang guru menyebut seseorang dengan “pitik” – ayam. Mungkin karena hidupnya hanya untuk mencari makan dan menimbun harta duniawi.

Ilmu kitab, natap-natap, ilmunya para kyai, kalau kitabnya hilang dia tidak tahu apa-apa, tidak bisa menyampaikan ilmunya.

Menurut pemahamanku,  kata “kyai” dan “kitab” dapat diperluas maknanya sebagai berikut: Kyai adalah alim ulama, dan para cerdik cendekia, para intelektual dan akademisi yang dasar-dasar pemikirannya menggunakan logika dengan syarat tertentu seperti ” sesuatu disebut ilmu jika…..”, atau ” sesuatu dinyatakan  logik jika…..” atau bahkan ” sesuatu dinyatakan benar jika…..”. Kemudian kata “kitab”  adalah buku, naskah, transkrip atau apa saja yang berbentuk dokumen yang diposisikan sebagai ” sumber ilmu” atau “referensi” atau ” dasar berpendapat”…

Pada taraf ini manusia hanya berkutat pada wacana-wacana saja. Hanya beradu argumentasi, berdebat mencari “kebenaran” dan karenanya dia berada di “menara gading”. Susah membumi.

Sang guru sering berucap, ilmu kitab  natap-natap. “Natap” adalah kata dalam bahasa Jawa yang artinya “terbentur”, dalam makna “mentok” , tidak dapat diteruskan. Pemahamanku tentang hal ini adalah, ilmu kitab tidak akan dapat menyelesaikan masalah, tidak dapat memberikan solusi pada persoalan hidup manusia secara global.

Sering sambil berseloroh sang guru berujar, ” kalau kyai nggak bawa kitab nggak bakalan bisa mengajar…… kalau aku, sambil merem aja bisa kok”….. Beliau bukan bermaksud menyombongkan diri melainkan memberitahu bahwa ilmu dalam kitab dan buku itu tidak seberapa, maka jangan sombong dengan tingginya pendidikan atau gelar akademis yang sudah diraih dan ditulis di depan atau di belakang namanya.

Ilmu ukur. Waktu sekolah di bangku SMP aku mendapatkan pelajaran ilmu ukur yaitu pelajaran tentang bentuk-bentuk yang terukur dan rumus-rumusnya. Ketika sang guru mengucapkan kata “ilmu ukur” seketika aku ingat pelajaran itu. Tetapi ternyata sang guru menambahkan kalimat, “ilmu ukur, ilmune para nabi para wali. Para Nabi lan Wali mesti pas ukurane soal haq lan batil”…. Ilmu ukur menurut sang guru adalah ukuran tentang haq dan batil. Tinggi sekali.

Dalam kehidupan nyata aku mendapati banyak fenomena yang memang masih perlu dipertanyakan apakah hal itu benar atau salah.

Banyak kyai yang “berdakwah” pasang tarip, benar apa salah? Banyak kyai yang memotong-motong ayat Qur’an lalu dijual sebagai jimat atau mantra, benar atau salah?. Banyak orang mendirikan lembaga bimbingan haji lalu menarik keuntungan dari  para calon haji dalam melakukan ibadahnya, benar atau salah? Banyak biro perjalanan haji dan umroh yang ramai-ramai “memasarkan” ibadah umroh sehingga umroh menjadi ibadah yang “trendy”, benar atau salah? Ada pencuri besar lalu membagikan hasil curiannya untuk fakir miskin yang kelaparan, benar atau salah? Ada orang yang ibadahnya sehari-hari biasa saja, tetapi untuk kegiatan sosial dia luar biasa, benar atau salah? Banyak ustadz yang tampil  menjual ilmunya dengan gaya artis dan selebritis, benar atau salah?. Banyak fenomena kehidupan yang rancu di sekitar kita dan kita tidak dapat berbuat apa-apa.

Terhadap kenyataan ini sang guru pernah bercanda dengan memplesetkan kata ” jamaaaah……” yang biasa diucapkan seorang ustadz di sebuah tivi swasta dengan kata ” unthuuuuuk…….”. “Unthuk” adalah kata dalam bahasa Jawa yang artinya “busa” – “buih”…

Bukankah Rasul pernah bersabda yang artinya kurang lebih, ” di zaman akhir nanti, Islam tinggal seperti buih….kelihatan besar dan menarik, tetapi sebenarnya kosong melompong tidak ada isinya sama sekalli…. …….”