Ta’at

” Sesungguhnya sambutan orang-orang mu’minin apabila diajak kembali kepada Allah dan Rasulnya untuk menghukum diantara mereka ialah berkata ‘kami dengar dan kami taat’.  Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung ”    ( Q.S. 24:51)

   Unsur utama pembentuk akhlaq islami adalah taat kepada Allah dan Rasulnya.  Budi pekerti yang ihsan dalam islam muncul dalam tempaaan taat, mekar dalam fikrah dan berbuah dalam jihad.  Tanpa taat tak akan muncul akhlaq, tanpanya tak akan ada iman, tak ada islam, tak ada sunah, tak ada Al Qur’an. Kalaupun ada semua itu terpapas maknanya dari dada seorang Muslim. Segumpal hafal ayat di kepala, semanis suara melafalkan hadits tak akan pernah melambungkan islam dan mengagungkannya kalau taat terhadap isi keduanya tidak dimiliki.

   Dalam sudut tertentu, bahkan “sami’na wa atho’ana” (kami dengar dan kami taat) adalah motto seorang Muslim dalam menapaki hidup, motto yang membedakannya dengan kaum munafiq, yang mendengar dan meninggalkan.  Motto yang menstimulus semangat, sekaligus sebagai bukti dari syahadah yang diproklamasikan seorang manusia kepada Tuhannya, Rabb manusia. Taat tak lain dari pewujudan atau pemenuhan janji seorang Muslim akan apa yang telah dia ikrarkan kepada Pencipta Yang Agung, dimana jiwanya ada dalam genggamanNya.  Taat tak lain hanyalah konsekuensi logis dari pengumuman diri, bahwa “tiada YANG DIIKUTI (Ilah) selain Allah”.  Tanpa ini kalimat syahadah hanya menjadi persaksian kosong yang terpenggal kamnanya, hanya suatu formalitas absurd.

   Tak pernah dapat dibayangkan kalau semua prajurit suatu kompi tidak taat pada komandan kompinya.  Jadi apa kompi itu ? Maka akanlah menjadi aneh kalau para jundullah (prajurit Allah) yang siap membela agama Allah dalam barisan yang teratur, kokoh, dan kuat tidak taat kepada Allah dan RasulNya.

   Maka tidak masuk akal sama sekali kalau seseorang atau kelompok manusia yang jelas-jelas menentang Allah dan RasulNya, namun masih mengaku sebagai orang yang berserah diri (Muslim), atau bilang sebagai Muslim yang kurang/tidak taat.  Kenapa tidak langsung saja berkata, saya anti Allah dan RasulNya, saya penentang Allah dan RasulNya, saya siap berperang melawan Allah dan RasulNya ? Mereka masih mengaku Muslim namun berserah diri tidak kepada Allah dan RasulNya, bersedia diatur dan diperintah oleh hokum yang tidak bersumber dari Allah dan RasulNya, memberikan loyalitas dan pengabdian tidak kepada Allah dan RasulNya, menggangkat pemimpin yang bukan saja tidak membela agama Allah tapi malah merendahkannya, berburuk sangka pada para pejuang agama Allah, namun berkasih sayang dan bermesraan dengan para musuh Allah.  Kenapa tidak mereka katakan, bahwa mereka adalah hamba taghut (iblis) ?

   Pada titik pemahaman ini dapat dimengerti kalau “taat” menempati urutan yang tinggi dalam mewujudkan akhlaq islami. Akhlaq Rasulullah adalah Al Qur’an, artinya adalah ketaatan pada Al Qur’an (Allah).  Sedang kita mentaati Allah dan meneladani Rasul, sebagai uswatun khazanah, tauhidul uswah.

   Taat kepada Allah dan RasulNya membuat akhlaq seorang Muslim sehalus bahkan lebih halus dari sutera.  Dan jaminan Allah untuk mereka ini adalah jannah, surga yang mengalir sungai di bawahnya, yang segala keni’matan, keindahan, keharuman dan sejuta kesenangan melimpah ruah, yang hanya diisi oleh jiwa-jiwa yang tenang suci dan tawadlu.  Itulah tempat untuk orang-orang YANG BERUNTUNG; orang-orang yang taat, orang-orang yang berakhlaqul kharimah.  Sedang untuk para pembangkang, para munafiq, tempat kembali yang terburuk adalah neraka jahanam, yang bahan bakarnya dari manusia dan batu, mereka kekal di dalamnya. Naudzu billah min dzalik.

   Akhirnya, jangan bermimpi untuk dapat merebut hegemoni–kepemimpinan dunia, atau menampakkan keagungan Islam kalau taat hilang dari dalam dada kaum Muslimin. Jangan bermimpi! Tanpa taat, yang ada hanyalah azab; sesungguhnya azab Allah sangatlah pedih. Sangat pedih!