Sang Guru (5)

SANG GURU (5)

by Bu Wiwik on Thursday, August 18, 2011 at 6:20am
 
 

MASJID. Itulah satu kata yang secara maknawi membuat sang guru tak pernah berhenti bekerja dan berkarya. Selesai membangun satu masjid, membangun lagi masjid di tempat yang lainnya. Kondisi ini sejalan dengan materi pelajaran yang selalu disampaikan pada saat pengajian. Tugas hidup manusia ada 2. Masuknya nafas, habluminallah – taat dan taubat. Keluarnya nafas, hablumminannaas – badan / raga menguntungkan orang lain. Laku utomo….nguntungake wong liyo……  Dengan kata lain, hidup ini akan bermakna jika tidak untuk diri sendiri melainkan untuk kebersamaan, untuk sesama makhluk Tuhan. Maka sering juga di tengah pagelaran wayang sang guru nembang ” ngrogoh kanthong dikekke uwong” sambil tangannya memperagakan makna syair itu. Seketika itu irama gamelan berubah mengiringi gaya sang guru lalu diikuti seluruh santri yang hadir. Semua gembira, ssemua bahagia. Aku sangat menikmati tembang ini. Gong nya yang menggelegar seolah memukul hati dan menyemangati jiwaku untuk terus berusaha “ngrogoh kanthong dikekke uwong”……Aku tahu, dengan cara ini sebenarnya sang guru ingin membebaskan para santri dari belenggu keterikatan jiwa dan ruh mereka dengan makhluq lainnya sehingga lebih mudah “naik ke atas”……Aku jadi ingat, bedug yang berada di masjid pondok itu  bertuliskan “KYAI UTOMO” .

Dalam sebuah acara di pondok pesantren aku duduk berdampingan dengan seorang ibu seumuran denganku. Kami ngobrol banyak. Dia asli Bantul punya 3 anak kandung dan 2 anak angkat. Salah satu anak angkatnya ikut bersamanya ke pondok ini. ” Itu……!”, dia menunjuk seorang pria muda berbaju batik, berpeci yang sedang bercakap-cakap dengan sang guru. Dia sudah beristri dan punya 3 anak. Dia seorang insinyur teknil sipil dari sebuah perguruan tinggi di Yogya. ” Waktu sang guru membangun masjid di Bantul, anak saya yang dipasrahi untuk ngurus dan ngawasi………”.

Dari situ aku tahu sang guru membangun masjid di Bantul. Sayang aku lupa bertanya nama dan lokasi masjidnya.

Di Boyolali, dari terminal sekitar 200m arah ke Semarang di sebelah kanan jalan,  ada masjid bernama Masjid Bani Adam. Itu masjiidnya sang guru. Mengapa namanya Bani Adam? Unik. Tidak seperti nama-nama masjid pada umumnya yang mengarah pada sebuah harapan seperti At Taqwa, Baiturrohim, Al Falah, dan sebagainya. ” begitulah sang guru memberi nama pada masjid itu……”. Tetapi jika dikaitkan dengan filosofi kehidupan sang guru yang bebas dan merdeka dalam arti yang sebenarnya, maka Bani Adam mengandung makna yang universal, tidak ada pengkotakan manusia sebagai makhluk Tuhan, tidak ada sekat-sekat yang membuat umat Islam terpisah satu sama lain. Hanya ada satu predikat untuk mereka yaitu sama-sama sebagai hamba Allah azza wa jalla.

Di Palur ada juga masjid sang guru. Jika kita jalan dari Sragen ke Solo lewat ringroad Palur, tengoklah sebelah kanan jalan sekitar 1km dari belokan bangjo ada masjid yang lokasinya agak menjorok ke bawah. Cet warna putih dengan kombinasi warna biru muda, bertingkat, namanya Ar Rohim. Aku beberapa kali singgah dan sholat di masjid itu bersama sang guru dan istrinya. Penjaga masjid itu pasangan  suami istri yang masih muda. Kecuali menjaga masjid, mereka juga membuka warung kecil sekedar melayani  kebutuhan pengunjung untuk membersihkan diri seperti sikat gigi, sabun mandi, handuk kecil, sendal jepit dan sejeniisnya. Pasangan  penjaga masjid ini sangat tawaddu. Terbukti ketika kami datang, dengan cepat mereka menyambut kedatangan kami dan melakukan salam ta’dzim  kepada sang guru dan istrinya. Aku melihatnya dengan suka cita……

Sementara hanya 3 masjid itu yang aku bisa ceritakan karena aku mendengar dan melihatnya sendiri.  Tetapi ada juga info bahwa sang guru mendirikan masjid di wilayah Kabupaten Klaten. Sayang aku  belum punya data yang lengkap untuk menuliskannya. Ada juga info bahwa sang guru  punya  masjid dan pondok pesantren  di Lampung. Temanku, Ir Sunarmasto MT, seorang dosen teknik sipil di UNS Surakarta, pernah diajak sang guru ke sana. Dia menyaksikan betapa para santri  sangat menghormati sekaligus mencintai sang guru. Dia tidak bisa mengungkapkan rasa kagum dan hormatnya kepada sang guru. Dia hanya bisa menangis terharu menyaksikan kedekatan para santri dengan sang guru. Kunjungan sang guru  yang hanya semalam membuat banyak santri dari daerah lain sekitar Lampung yang kecewa karena tidak sempat bertemu.

Masjid yang paling aku ketahui dan aku ikuti proses pembangunannya adakah masjid di Desa Lemahabang, Sambungmacan, 7km dari Sragen kota ke arah timur. Sebagaimana masjid yang ada di lokasi pondok, masjid ini juga tidak punya nama. Kalau masjid yang di pondok menyatu dengan Pondok Pesantren Nurulhuda, masjid yang di Lemahbang ini menyatu dengan Rumah Makan Nurulhuda. Nama ” YU SRI” sudah diganti.

Masjid ini dibangun sejak bulan Rajab tahun 1430H atau th 2008. Setahun kemudian masjid bagian depan sudah dapat dipergunakan untuk sholat. Untuk mensyukuri ini sang guru mengundang pagelaran wayang Ki Enthus Susmono dari Tegal. Diundang juga Yati Pesek dari Yogya, Markaban dari Kudus dan beberapa seniman  lainnya.

Bulan Rajab 1431H, masjid ini dinyatakan selesai.

Untuk menyambut Idul Fitri tahun ini sang guru menambah pembangunan kamar kecil yang semula 20 unit menjadi 50 unit supaya pengunjung lebih nyaman dan tidak perlu antri.

Selesai masjid Lemahbang , sang guru sudah punya proyek baru. Penetapan awal pembangunan masjid baru ini dilaksanakan  pada bulan Rajab 1432H, sekitar Juni-Juli 2011.  Setahun yang lalu sang guru membeli tanah seluas 3 hektar seharga 3M di jalan raya Tuban – Lamongan masuk wilayah Dusun Sundulan Kalurahan Sumber Agung Kecamatan Plumpang Kabupaten Tuban.

Banyak orang bertanya, bagaimana sang guru sebegitu kayanya, bisa membangun masjid di beberapa tempat tanpa minta bantuan siapapun…… Dari mana uangnya?…